Rabu, 14 Mei 2008

matematika menyenangkan

Matematika itu Menyenangkan
By zakimath
Jum'at, 24-November-2006, 10:03:56 11459 clicks Send this story to a friend Printable Version
Pada mulanya hanyalah sebuah keinginan sederhana dari Dr. Widodo untuk membuktikan kepada masyarakat, terutama masyarakat ilmiah, bahwa prestasi bangsa Indonesia di bidang ilmu pengetahuan, terutama matematika, tidaklah mengecewakan seperti yang selama ini biasa dipersepsikan. Ia bahkan meyakini dengan treatment yang sama dan model pembinaan yang intensif, sesungguhnya Indonesia pun mampu mengukir prestasi yang sama seperti negara-negara lainnya.
“Matematika itu sebenarnya ora begitu-begitu banget. Kita sudah buktikan itu....
Matematika itu Menyenangkan

Yogya, KU

Pada mulanya hanyalah sebuah keinginan sederhana dari Dr. Widodo untuk membuktikan kepada masyarakat, terutama masyarakat ilmiah, bahwa prestasi bangsa Indonesia di bidang ilmu pengetahuan, terutama matematika, tidaklah mengecewakan seperti yang selama ini biasa dipersepsikan. Ia bahkan meyakini dengan treatment yang sama dan model pembinaan yang intensif, sesungguhnya Indonesia pun mampu mengukir prestasi yang sama seperti negara-negara lainnya.

“Matematika itu sebenarnya ora begitu-begitu banget. Kita sudah buktikan itu. Dari segi dosen misalnya, di luar negeri kita tidak kalah, malah the best. Dan sekarang ini adalah saatnya kita buktikan bahwa mahasiswa kita pun mampu bersaing di tingkat internasional. Jadi kita bisa buktikan bahwa teman-teman di Jurusan Matematika UGM, maupun perguruan tinggi yang besar lainnya, bisa terus bersaing di tingkat internasional Kalau tidak dengan cara-cara seperti ini, existing-nya kadang-kadang dipersepsikan keliru oleh masyarakat,” kata Ketua Jurusan Matematika FMIPA UGM ini dalam perbicangan ringan di Gedung Pusat UGM, beberapa waktu lalu.

Sekilas terkesan seperti ngaya wara. Tapi Pak Widodo tak peduli dengan semua itu. Tekad dan keinginannya bulat sudah. Meski untuk semua itu dia harus berjuang sendirian. Tahun 2003 menjadi titik awal langkahnya. Saat itu, dia menjabat sebagai Ketua Prodi Matematika FMIPA UGM. Pontang-panting dia kesana-kemari dengan biaya sendiri untuk melakukan pembinaan, mencari informasi dan juga referensi. Semua itu dia lakukan karena dia tak sepenuhnya percaya dengan kecepatan birokrasi.

“Saya memang punya komitmen yang tinggi terhadap ini. Tapi itu karena saya punya sesuatu yang lain juga. Saya punya kegiatan yang bisa mem-back-up ini semua. Jadi saya bisa bekerja tanpa pamrih sama sekali. Tahun 2003-2004 mana ada saya menganggarkan ini. Nol, betul-betul nol. Tapi semua tetap saya lakukan. Baru setelah saya menjadi pengurus jurusan, saya anggarkan dong,” paparnya dengan tawa berderai.

Tak berhenti hanya sampai itu. Dia pun mencoba metani anak didiknya menjadi calon-calon yang layak untuk diunggulkan. Tentu saja ini bukan pekerjaan yang terlalu mudah. Sebab, jika hanya mengandalkan IP tinggi semata, hal itu ternyata tidaklah mencukupi sebagai bekal menembus laga. Yang penting, kata Widodo, justru IP tinggi plus ketekunan. Dwi Ertiningsih dan Nikenasih Binatari yang beberapa waktu lalu berhasil mengukir prestasi dalam International Scientific Olympiad on Mathematics (ISOM), adalah yang termasuk dalam kategori pandai dan tekun.

Upaya yang dilakukan Pak Widodomenjadi sedikit lebih ringan ketika UGM mulai menyelenggarakan program penelusuran bibit unggul berprestasi. Dia pun memulai proses penelusuran untuk menemukan calon-calon unggulan melalui ajang olimpiade. Tak terlalu sulit baginya untuk menemukan siapa yang berpotensi. Pengalaman mengajar matematika untuk siswa-siswa SMU calon peserta olimpiade matematika sangat membantu Pak Widodo melakukan proses penelusuran. Nanang Susyanto yang beberapa waktu lalu berhasil meraih medali perunggu dalam International Mathematics Competition (IMC), adalah satu dari sedikit calon unggulan yang ditemukan Pak Widodo dalam ajang olimpiade.

“Kebetulan tidak semua peserta olimpiade adalah anak orang kaya. Tidak semua ingin masuk ke teknik atau kedokteran. Meskipun juga harus diakui, belum banyak yang mau ke ilmu-ilmu dasar seperti matematika, fisika dan kimia. Saya tidak tahu mengapa, tapi mungkin kalau menurut saya pribadi, karena ilmu dasar di Indonesia belum mendapat perhatian lebih daripada ilmu-ilmu lain, baik oleh pemerintah, maupun masyarakat luas sekalipun. Matematika masih dianggap seperti itung-itungan. Padahal kalau di luar negeri, seseorang menjadi profesor matematika bisa jadi kaya, bisa jadi konsultan,” paparnya.

***

Untuk membina calon-calon unggulan, Pak Widodo membentuk sebuah tim pembina di Jurusan Matematika FMIPA UGM. Tim beranggotakan mereka-mereka yang memang terbaik. Semua adalah doktor. Pak Widodo juga mulai menganggarkan pembinaan di tingkat jurusan dalam RKAT. Besarnya, Rp 20 juta per tahun. “Ada reward meskipun saya tahu itu belum sebanding dengan jerih payah mereka,” katanya.

Kini, setelah berbilang tahun, kerja yang dilakukannya telah berbuah hasil. Dia berhasil menggembleng dan mengantarkan mahasiswa Jurusan Matematika FMIPA UGM meraih prestasi di tingkat internasional. Tercapai sudah keinginannya untuk membuktikan bahwa UGM masih menjadi yang terbaik. Tak hanya itu, tekad dan semangatnya juga mendapat apresiasi dari kawan-kawan seiringnya di Jurusan Matematika FMIPA UGM, bahkan juga di tingkat fakultas maupun universitas. Pak Widodo pun mengaku senang ketika Dwi, Niken dan Nanang akhirnya mendapat beasiswa pendidikan hingga ke jenjang S3 dari universitas. Ini menjadi salah satu bukti dan komitmen dari UGM.

“Tahun 2005, sebetulnya pihak rektorat menghendaki saya untuk diajukan sebagai dosen berprestasi di tingkat nasional. Tapi saat itu saya bilang, tidak. Saya adalah ketua jurusan, masak mengusulkan dirinya sendiri. Kan harus sesuai prosedur. Dipeksa-peksa pun saya tetap tidak mau. Saya bukan tipe seperti itu. Kalau meng-acc diriku sendiri, sampai kapan pun saya tidak mau. Tapi saking judeg-nya mungkin, akhirnya saya dapat penghargaan dari rektor. Namanya, dosen berprestasi untuk lomba-lomba di tingkat internasional. Itu salah satu yang saya pakai untuk kenaikan pangkat saya. Alhamdulillah,” paparnya.

***

Matematika adalah bidang ilmu yang sangat disukai Pak Widodo, bahkan semenjak dia masih tinggal di Batang. Pak Widodo memang asli Batang. Dia lahir di Batang, 31 Oktober 1963. “Bapak dan ibu saya hanya sampai SD kelas 3. Bapak hanya seorang tukang. Yang saya rasakan waktu itu, orang yang tidak berpendidikan itu kayak tertindas, ‘agak disewenang-wenangi’. Makanya saya berjuang. Alhamdulillah, tanpa bermaksud menyombongkan diri, waktu SMA, saya ranking 1 dari 12 kelas. Biologi, Fisika, dan Kimia, Insya Allah, nilainya 10 semua. Tapi yang paling saya suka tetap Matematika,” tuturnya.

Itu sebabnya, meski sang ibu lebih senang jika dirinya menjadi dokter, Pak Widodo tetap memilih Matematika. Dia lolos menembus UGM melalui jalur PP-2. Dengan sadar dia memilih Matematika sebagai pilihan pertamanya. Alasannya sederhana saja, karena suka. Dan tahun 1988, dia lulus dari UGM. Pada tahun 1992 dia merampungkan S2 di ITB. Sedangkan pendidikan Doktor Matematika diselesaikannya di Universitas Innsbruck Austria, tahun 1996. Kini bidang spesialisasinya adalah Matematika Terapan: Sistem Dinamika, Model Matematika, Riset Operasi (Sains Manajemen).

“Ada filosofi yang mengatakan, dengan menguasai matematika, bahasa dan seni, orang akan menguasai dunia. Matematika itu, kalau saya bisa buktikan powerfull di bidang tertentu misalnya, baru orang terpukau. Akhirnya mereka merasa bahwa matematika itu penting. Tak jarang setelah S3 di luar negeri, baru tahu kalau matematika itu penting,” kata penggemar olahraga badminton ini.

Semua, kata Pak Widodo, memang bermula dari sekat-sekat keilmuan yang diciptakan dengan begitu ketat pada masa lalu. Pengelompokan ilmu yang akhirnya hanya melahirkan keangkuhan yang begitu luar biasa dalam diri individu. Padahal ilmu hanya akan berkembang jika multidisiplin. Tak ada persoalan riil yang bisa diselesaikan dengan satu disiplin ilmu saja. Tak hanya itu, pendidikan di bangku SD hingga SLTA juga memegang peranan penting. Kenyataannya, matematika masih menjadi momok yang menakutkan. Padahal, meski tidak semuanya, matematika bisa dibuat joke, dikaitkan dengan kehidupan sehari-hari.

“Saya mengajar anak-anak SMP juga. Mereka bisa enjoy. Bisa mengikuti dengan baik. Jadi kuncinya, kepandaian adalah syarat perlu. Tapi, itu tidak cukup. Harus dicukupkan dengan banyak hal seperti, bisa menghargai pendapat anak, tidak boleh semena-mena, mau belajar terus menerus sepanjang hayat dan terus belajar tentang metode pengajaran yang baik. Ini yang tidak banyak dilakukan oleh kebanyakan guru,” paparnya.

Pak Widodo memang berbeda dengan kebanyakan matematikawan lainnya. Dia lebih suka berupaya agar matematika bisa menyenangkan orang. Joke-joke segar adalah salah satu cara yang biasa dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut. (ida tungga)

( )

Tidak ada komentar: